Bagikan:

 

JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa Pemerintah akan mengalihkan impor Minyak Mentah dan BBM dari Singapura ke Amerika Serikat (AS). Kebijakan ini dikeluarkan sebagai bagian dari negosiasi Indonesia dengan AS untuk menekan defisit neraca perdagangan AS, sehingga tarif ekspor Indonesia yang ditetapkan 32 persen dapat diturunkan.

Menanggapi hal ini, Pengamat Ekonomi Energi dari Iniversitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, mengatakan, pengalihan impor minyak ke AS memang akan mengatasi masalah defisit neraca perdagangan AS, namun berpotensi menimbulkan masalah baru bagi Indonesia.

"Impor Minyak Mentah dari USA belum tentu sesuai dengan kilang minyak Pertamina untuk menghasilkan BBM," ujarnya, Senin, 12 Mei.

Menurutnya, AS belum tentu mampu menyediakan impor Pertalite, yang harus blending, karena tidak dijual di AS.

Di sisi lain, Fahmy juga menyoroti harga impor minyak mentah yang mestinya lebih mahal ketimbang harga minyak di Singapura karena biaya logistik lebih mahal.

"Mafia migas yang selama ini memburu rente impor BBM dari Singapura pasti akan melakukan upaya penghalangan pengalihan impor dari Singapura ke AS," terang Fahmy.

Untuk itu Fahmy menyebut, kalau Bahlil memaksakan untuk tetap mengalihkan impor minyak dari Singapura ke AS, Pemerintah harus memastikan bahwa spesifikasi Minyak Mentah sesuai dengan kilang Pertamina dan AS bisa melakukan blending untuk menghasilkan Pertalite.

Selain itu, harga impor dari AS minimal harus sama dengan harga impor dari Singapura. Untuk itu pemerintah harus bertekad untuk memberantas mafia migas yang akan menghalangi pengalihan impor dari Singapoura ke AS.

"Tanpa berbagai upaya tersebut, kebijakan alihkan impor minyak akan mengatasi defisit neraca perdagangan AS, tetapi juga akan menimbulkan masalah baru. Kebijakan Pemerintah seharusnya mengatasi masalah tanpa menimbulkan masalah baru," tandas Fahmy.